Posisi sebagai pemimpin di mana-mana
dianggap memiliki kelebihan atau keistimewaan, sehingga banyak orang
meminatinya. Begitu juga di kampus, banyak orang kepingin menduduki posisi itu.
Oleh karena itu, sekalipun memimpin itu adalah amanah, dan amanah
itu harus ditunaikan, dan tidak boleh dikejar-kejar, tetapi nyatanya banyak
orang yang mengejarnya. Bahkan cara yang ditempuh juga menyolok, sehingga
ambisinya itu kelihatan sekali.
Di zaman sekarang ini mengejar posisi
sebagai pemimpin dianggap biasa. Dulu, hal seperti itu tidak terjadi.
Kalau pun ada tidak terbuka seperti sekarang ini. Orang masih memiliki
rasa malu, manakala disebut berambisi. Sekarang rasa malu itu
rupanya sudah semakin hilang. Untung saja, gambaran seperti itu belum
terjadi di banyak kampus perguruan tinggi.
Semestinya untuk menduduki posisi
penting seperti itu, seseorang yang dianggap cakap dan memiliki
kelebihan, disusulkan oleh orang lain untuk menjadi pemimpin. Namun anehnya
pada saat sekarang ini, adalah merupakan hal biasa, seseorang
mengusulkan dirinya sendiri agar ditunjuk atau dipilih menjadi
pemimpin.
Lebih eronis lagi, posisi
pemimpin diangap sebagai pekerjaan yang akan menghasilkan sesuatu yang
menguntungkan. Atas dasar anggapan itu, selain diperebutkan, jabatan
juga dibeli. Mereka mengkalkulasi antara pengeluaran dengan
pendapatannya. Manakala ada kemungkinan beruntung, maka
akan diambil. Untuk meraih posisi itu, mereka juga tidak bekerja sendiri,
melainkan juga membentuk tim sukses. Semua kegiatan itu memerlukan uang.
Tanpa uang jangan berharap berhasil menduduki posisi penting itu.
Saya merasa senang sekali, di kampus
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, tatkala terjadi pemilihan pemimpin kampus,
tidak terdengar berita yang menyedihkan sebagaimana digambarkan di muka.
Persaingan antar sesama calon yang sama-sama berminat menjadi pemimpin
kampus, sedikit banyak, memang di sana sini terasakan. Akan tetapi,
suasana yang berlebihan, selama ini belum saya temukan.
diminta menawarkan dirinya,
melainkan dicalonkan. Beberapa dosen yang diusulkan oleh
teman-teman sejawatnya, maka mereka itulah yang dijadikan calon.
Bbeberapa calon pejabat itu kemudian diminta menyusun visi, misi, program
kerja, dan melengkapi berbagai persyaratan lainnya, kemudian diajukan
untuk diikutkan sebagai kandidat dalam pemilihan oleh senat.
Proses sebagaimana disebutkan terakhir
itu kiranya lebih edial. Seseorang agar dipilih menjadi pemimpin
harus selalu meningkatkan kualitas dirinya. Mereka yang berkualitas dalam
berbagai hal, tentu akan diusulkan oleh kawan sejawatnya, dan sebaliknya bukan
mengusulkan dirinya sendiri. Tentu proses tersebut akan menjadi lebih baik lagi
manakala dalam pengusulan oleh beberapa teman sejawatnya itu didasarkan
kriteria atau ukuran tertentu. Sebab tanpa ukuran yang jelas, juga akan terjadi
rekayasa-rekayasa yang tidak sesuai dengan misi perguruan tinggi.
Tanpa ada kretiria yang jelas,
seseorang diusulkan oleh banyak temannya bukan atas dasar prestasi
akademik, melainkan misalnya, hanya atas dasar kesamaan organisasi,
hubungan–hubungan primordial, dan atau kesamaan lainnya agar sama-sama
mendapatkan keuntungan. Manakala hal itu benar-benar terjadi, maka kampusnya
sendiri yang akan terugikan. Memang di dalam kehidupan ini pintu-pintu atau
peluang menyimpang dari garis yang seharusnya dipegang bersama selalu muncul
pada setiap saat dan atau dalam setiap kesemptan.
Pemimpin kampus semestinya tidak
perlu diperebutkan. Orang-orang kampus sehari-hari terbiasa berpikir
rasional, obyektif, dan terbuka. Oleh karena itu, manakala terjadi
rekayasa-rekayasa, maka akan segera diketahui kelemahannya. Biasanya apa
saja yang direkayasa selalu menyimpan kelemahan. Sedangkan kelemahan yang dimaksudkan
itu pada saatnya akan segera diketahui oleh banyak kalangan. Citranya
menjadi tidak baik, dan akan berjalan dalam waktu yang lama.
Hal penting lainnya, bahwa pemimpin
kampus seharusnya dipilih dari orang yang berprestasi, misalnya yang
bersangkutan tulisannya banyak, beberapa hasil penelitiannya tergolong
berkualitas, buku-buku yang dihasilkan diminati banyak orang, dan
seterusnya. Manakala prestasi itu tidak ditemukan dan yang bersangkutan
menghendaki untuk menjadi pemimpin, maka diperlukan rekayasa itu.
Rekayasa itu akan berhasil, tetapi suatu saat, kelemahan itu akan
diketahui, oleh karena, orang kampus selalu berpikir rasional,
obyektif, dan terbuka.
Dengan begitu, seorang yang tidak
pernah terpilih menjadi pejabat kampus, sangat mungkin ketenarannya melebihi
pimpinan birokrasi kampusnya. Yang bersangkutan diundang kemana-mana
untuk mengisi dialog, diskusi, seminar, dan kegiatan ilmiah lainnya.
Padahal pimpinannya sendiri, oleh karena sibuk atau apa, tidak pernah mendapat
perhatian dari sejawatnya. Orang seperti yang dimaksudkan itu,
menjadi pejabat justru rugi. Kualitas keilmuannya tidak bisa
berkembang sebagaimana yang dituntut oleh institusinya sendiri.
Berangkat dari kenyataan itu, saya
ingin mengatakan bahwa untuk ikut mengembangkan kampus, seseorang
tidak harus menduduki jabatan tertentu, tetapi bisa lewat berbagai peluang yang
selalu terbentang luas. Seseorang yang berprestasi di bidang penelitian,
penulisan buku, berhasil menciptakan inovasi baru, memiliki
kemampuan menjalin komunikasi luas, dan lain-lain akan dipandang
telah memberikan sumbangan besar bagi kemajuan kampusnya.
Nara Sumber : http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3854:para-pemimpin-kampus&catid=25:artikel-imam-suprayogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar